Site Network: Personal | My Company | Artist projects | Shop

 

senyum itu baik



ramadhan lagi

sudah menjelang ramadhan.
rasanya belum pantas diri ini menikmatinya lagi.
ya Allah, apa saya diizinkan?

("beberesih dulu dong jang!" kata gusti Allah)

posted by wonka @ 11:25 AM, ,




West-Östlicher Divan

Wer sich selbst und andre kennt
Wird auch hier erkennen:
Orient and Okzident
Sind nicht mehr zu trennen.
Sinnig zwischen beiden
WeltenSich zu wiegen, lass' ich gelten,
Also zwischen Ost-und Westen
Sich bewegen, sei's zum Besten

Yang kenal diri dan orang lain
Akan mengakui juga:
Timur dan Barat
Tiada terpisahkan lagi.
Berpikir dan dibuai
Di antara kedua dunia itu,
Jadi, bergerak antara Timur - Barat
Itulah kiranya yang terbaik.

johann wolfgang von goethe

posted by wonka @ 3:23 AM, ,




negeri pembunuh bayi

syahdan, pada masa musa dilahirkan, fir’aun yang megalomania mulai takut pada ramalan lahirnya sang pembebas yahudi, yang akan menghancurkan hegemoninya atas negeri makmur di lembah sungai nil. setiap anak lelaki yang dilahirkan harus dibunuh untuk mencegah sang pembebas tumbuh besar. maka fir’aun pada masa itu dikenal sebagai sang pembunuh bayi lelaki.

lalu ada kisah tentang masa jahiliyah arab dalam alqur’an. pada masa itu melahirkan anak perempuan adalah aib keluarga, karena kebanggan maskulin tak dapat diwariskan pada perempuan. syahdan, setiap bayi perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup sebelum berumur sehari. maka kaum itu dikenal sebagai pembunuh bayi perempuan.

ada kisah di negeri yang berulang tahun hari ini, bayi mati kekurangan gizi, karenanya banyak bayi dilahirkan dengan kepala sebesar peti mati. entah mengapa, banyak orang yang tanpa merasa bersalah merampas masa depan orang lain, dengan tak memberinya makanan yang layak pada masa awal pertumbuhan. banyak anak kehilangan potensi kecerdasannya. banyak orang tua bayi tidak diberi kesempatan menemani anaknya tumbuh dengan normal. karena akses pada pertumbuhan ekonomi dihalangi. dikejar-kejar padahal ia mencari makan dengan halal, ironisnya banyak yang bayinya tumbuh sehat dengan makanan upah mengejar-ngejar orang tua bayi yang lain.

syahdan, karena tak memiliki manusia sehat, negeri itu kelak hancur binasa. dalam sejarah, negeri itu dikenal sebagai negeri pembunuh bayi.

indonesia kitakah itu?

posted by wonka @ 2:52 AM, ,




ho chi minh city

next week, ikut?

mau?

posted by wonka @ 11:05 AM, ,




archimedean point

coba bayangkan luasnya jagat raya ini.

benda langit dalam jumlah tak terhingga, galaksi dan tata surya yang tak mampu kita hitung jumlah tepatnya. lalu bumi kita ini hanya sebutir zarah yang mahakecil dalam tatanan jagat raya. kecil dan tak berarti apa-apa. lalu apalah kita....

saya tidak sedang bercerita tentang astronomi, tadi malam saya teringat cara menemukan obyektivitas a la archimedes, yang pernah saya pelajari bertahun lalu di bangku kuliah. saya ceritakan ulang, semoga saja tidak salah.

archimedes menawarkan solusi jernih untuk obyektivitas yang di kemudian hari dikenal dengan "archimedean point", atau titik archimedes. mengapa obyektivitas?
meski dalam ranah filsafat kontemporer obyektivitas adalah kemustahilan, karena dalam cara pandang satu entitas pasti melekat unsur kedirian yang subyektif, apalagi ketika unsur sentimentil mewarnai usaha untuk mendapat solusi. namun archimedean point masih cukup relevan digunakan sebagai alternatif solusi yang positif selain subyektivitas filsafat kontemporer yang cenderung skeptis terhadap "jarak jernih" antara subyek dengan masalah.

kembali ke alinea awal tadi, ide archimedean point sebetulnya sederhana saja. archimedes mengandaikan satu titik di angkasa sebagai tempat berpijak untuk melihat bumi. pada titik itu, kita bisa melihat bumi berputar pada porosnya, dan terutama melihat bumi yang rasanya sedemikian besar saat kita memijaknya, ternyata hanya sebutir zarah pada tatanan jagat raya. jika kita sudah berhasil "mengecilkan" bumi. maka masalah yang pada mulanya diri ini tak bisa melepas keterlibatan subyektif di dalamnya, perlahan menjadi hanya sebatas obyek yang bisa dilihat dengan jernih dan utuh tanpa ada kita di dalamnya. diri ini sebagai subyek yang juga menyatu dalam masalah itu, menjadi merdeka dan bisa berpikir jernih.

begitu cara kerja solusi "archimedean point" dalam menemukan obyektivitas, yaitu mengambil jarak yang cukup untuk melihat dengan utuh dan jernih suatu masalah. melepas sementara keterlibatan, jika pun obyek diperlakukan sebagai subyek, yang terbangun adalah relasi intersubyektivitas yang setara, bukan dalam posisi patron-klien yang dominatif.

solusi ini bisa digunakan dalam banyak bidang. misalnya dalam isu pluralisme, menghargai perbedaan sebagai sesuatu yang niscaya. saat kita sangat terlibat secara emosional sebagai subyek yang meleburkan diri dalam satu jenis pemikiran, maka pemikiran itu lekas menjadi dogma yang tak boleh salah, dan menjadi kebenaran satu-satunya yang tidak boleh memiliki oposan. jika ada yang mencoba menjadi oposan atas dogma itu, pilihannya hanya satu, dimusnahkan.

tapi cobalah kita melihat dari "luar bumi ini", berpijak dari titik di angkasa raya. dogma tersebut menjadi lebih kecil dari butir zarah bumi kita. keagungannya menjadi nampak pandir jika diyakini sebagai satu-satunya kebenaran di jagat raya yang maha luas ini. orang-orang yang merasa paling benar dan berkuasa di bumi ini menjadi nampak seperti kuman-kuman kecil tolol yang sok berkuasa, padahal apa pun tingkahnya, bahkan hanya untuk mempengaruhi rotasi butir zarah bumi ini pun tak akan mampu. apalagi menjadi kebenaran satu-satunya di jagat raya ini. pada titik ini, archimedean point bisa membuat kita menertawakan kepandiran sendiri, menertawakan orang-orang yang pada mulanya kita kira sangat hebat dan berkuasa.

ah, betapa kecilnya kita. terlampau kecil jika hidup hanya untuk berlaku sombong dan merasa besar.


subyektivitas para eksistensialis menjadi seperti anak kecil yang tak kunjung dewasa, yang selalu merasa dirinya satu-satunya mahluk di dunia ini, yang sangat merdeka dan bebas berlaku apa pun termasuk menyakiti orang lain. padahal masalahnya, hanya karena ia belum mampu mengambil jarak dari dirinya sendiri, karenanya ia tak mampu memahami dirinya sendiri...

semoga saja anda tidak.

posted by wonka @ 3:29 AM, ,




safarwadi

malam sudah larut. udara dingin beku. kepak sayap lelawa hembuskan bau bandot malam, jatuhkan bunga, jatuhkan bebijian.

aku tiba di safarwadi menjelang tengah malam. udara dingin beku, menembus jaket kulit yang tak tebal. membuat pori-pori mengasar. celana dilipat, kaki dicelupkan pada air sungai di pintu gua. pembawa petromaks kumandangkan adzan. suaranya parau, menggema pada dinding gua yang keras oleh bebatuan purba. kepala ditundukan, berjalan membungkuk menembus celah kecil pintu gua. bismillah...

bebatuan bisu nampak megah malam itu, lelangit yang tinggi, kokoh tak membuat takut menimpa kepala. tetes air dari ujung batuan runcing menimpa sungai bawah tanah. tetes demi tetesnya seperti butiran tasbih yang diputar, mengajak berdzikr atas nama sang khalik.

aku memasuki lorong demi lorong gua itu. ada lorong pengap dengan bau tak sedap. seseorang tidur di duduk tegak di lorong itu, mulutnya meracau...entah do'a entah pada siapa ia meminta. seperti tidak ada tempat lain yang lebih nyaman saja.

ada mata air kahuripan, kata pembawa petromaks, siapa meminum air itu akan panjang umurnya. lalu ada mata air kajayaan, siapa yang memandikan diri disitu akan jagjag belejag awak seumur hidupnya. namun saya tidak melakukannya. ada rasa mengganjal dalam hati untuk mengikuti saran itu. saya hanya berdizkr pada Allah, tak mengharap apa-apa. jika pun akan dimatikan malam itu, saya pasrah saja, toh diri ini bukan milik sendiri, tidak ada sertifikatnya.

aku menganggap gua itu sebagai monumen sejarah pengabdian syaikh abdul muhyi pada Allah, saksi bisu sepanjang masa tentang waliyullah yang ikhlas berbakti.

udara segar kembali ketika keluar dari gua itu. bebunyian malam kembali terdengar. perjalanan menembus bebukitan dilanjutkan. satu lagi, gua keraton membuatku penasaran.

gua itu seperti miniatur keraton dalam lukisan. stalagtit purba nampak megah di ruang lapang itu. namun ada pemandangan tak sedap dari para pertapa yang meracau meminta entah apa, entah pada siapa.

menjelang subuh kami turun, kaki ini pegal-pegal. setelah subuh perjalanan dilanjutkan..menyusuri gua-gua tak bernama di pedalaman tasik selatan.

kapan-kapan catatan perjalanannya akan kuceritakan.

posted by wonka @ 2:09 AM, ,